PELAJARAN DARI BANJIR BESAR SULAWESI SELATAN
Oleh DARYONO
Peneliti di BMKG dan Vice President Himpunan Ahli Gofisika Indonesia (HAGI) Divisi Mitigasi Bencana Kebumian
Rentetan peristiwa bencana alam yang terjadi sejak akhir 2018 hingga awal 2019 menelan jumlah korban jiwa sangat besar. Bencana gempa bumi di Lombok menewaskan 564 orang. Gempa, likuefaksi, dan tsunami di Sulawesi Tengah (Sulteng) menyebabkan 3.475 orang tewas dan hilang. Tsunami di Selat Sunda menewaskan 437 orang. Longsor di Sukabumi menewaskan lebih dari 15 orang. Kini, giliran banjir besar di Sulawesi Selatan (Sulsel) menelan korban jiwa lebih dari 78 orang meninggal.
Lengkap sudah, jika pada akhir 2018 kita didera bencana alam akibat faktor geologis, maka di awal 2019 bencana alam kembali terjadi dipicu oleh faktor hidrometeorologis. Wilayah Indonesia memang sangat rawan bencana akibat faktor geologis, khususnya gempa bumi dan tsunami, tetapi juga memiliki tingkat kerawanan yang tinggi terhadap bencana alam terkait faktor hidrometeorologis seperti banjir dan tanah longsor.
Peristiwa banjir besar di Sulsel dapat dibilang peristiwa langka. Sebenarnya, banjir memang biasa terjadi di Sulsel, akibat tingginya curah hujan. Catatan menunjukkan bahwa banjir pernah terjadi pada tahun 1976, 1978, 1986, 1989, 1992, 1993, 1998/1999, 2013 dan 2017, tetapi intensitas dan cakupan wilayahnya tidak seluas bencana banjir yang terjadi di awal tahun 2019 ini.
PERINGATAN DINI
Peristiwa banjir besar di Sulsel pada tanggal 22 Januari 2019 lalu tidaklah terjadi dengan tiba-tiba. Sebelum terjadi banjir di sejumlah daerah, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah menyebarluaskan peringatan dini cuaca ekstrim kepada stakeholder dan masyarakat.
Citra Radar pada tanggal 21 Januari 2019 sudah menunjukkan adanya pertumbuhan awan konvektif yang signifikan mulai pukul 23.00 WIB di sekitar wilayah Pesisir Barat Sulawesi Selatan mulai dari Makassar, Maros, Pangkep, Barru, Gowa, Takalar, dan Jeneponto.
Selanjutnya BMKG segera mengeluarkan peringatan dini untuk wilayah Sulsel untuk tanggal 22 Januari 2019 pada pukul 00.00 WITA. Diinformasikan bahwa hujan lebat yang disertai petir dan angin kencang berpotensi terjadi di wilayah Kabupaten Barru, Soppeng, Pangkep, selanjutnya meluas ke wilayah Gowa, Sinjai, Maros, dan Kota Makassar.
Peringatan dini ini ternyata terbukti akurat. Hujan lebat turun pada tanggal 22 Januari 2019 di beberapa wilayah di Sulsel. Stasiun penakar hujan milik BMKG mencatat curah hujan dengan intensitas sangat tinggi. Pada 21 Januari 2019 Stasiun Meteorologi Bandara Hasanudin Makassar mencatat curah hujan mencapai 197 mm/hari dan pada 22 Januari 2019 Stasiun Klimatologi Maros mencatat curah hujan mencapai 193 mm/hari.
Curah hujan tersebut termasuk kategori ekstrim. Curah hujan disebut ekstrim jika melampaui 150 mm/hari. Hujan lebat semacam ini dapat menjadikan permukaan tanah tidak lagi mampu menyerap curahan air hujan, bahkan sungai pun juga tidak mampu menampung aliran sehingga dapat meluap.
Berdasarkan hasil analisis, ada 3 fenomena atmosferik yang saling berhubungan hingga dapat memicu terjadinya cuaca buruk dan hujan lebat, yaitu (1) menguatnya aliran monsun dan daerah pertemuan massa udara antar benua yang populer disebut sebagai intertropical convergence zone (ITCZ), (2) munculnya pertumbuhan bibit siklon di perairan utara Australia dan (3) gelombang atmosfer Osilasi Madden Julian (MJO). Ketiga faktor ini terjadi secara serempak hingga terjadi amplifikasi yang memicu terjadinya hujan ekstrim.
Jika mengamati citra satelit cuaca pada tanggal 21 dan 22 Januari 2019 memang tampak adanya zona konvergensi yang memanjang dari di perairan Laut Jawa, selatan Pulau Sulawesi, menerus ke Laut Banda. Sehingga wajar jika terjadi curah hujan dengan intensitas tinggi dan berlangsung secara terus-menerus melanda 13 wilayah kabupaten di Sulsel.
PELAJARAN
Mengapa banjir besar terjadi di Sulsel? Tentu selain faktor cuaca yang tidak dapat dikontrol, juga akibat adanya faktor lain, seperti kerusakan lingkungan di hulu dan di sepanjang jalur DAS. Degradasi alam dan lingkungan dapat menjadikan hujan ekstrim mudah menyebabkan banjir. Terkait peristiwa banjir besar Sulsel, ada beberapa hal yang dapat diambil sebagai pelajaran untuk menata mitigasi ke depan.
Pertama, tidak mengabaikan peringatan dini cuaca ekstrim. Pada setiap kasus bencana banjir dan longsor, fenomena paling awal gejala cuaca buruk sebenarnya dapat dideteksi citra satelit cuaca dan radar cuaca. Sayangnya, meskipun BMKG sudah merilis peringatan dini, tetapi respon nyata untuk antisipasi bencana belum banyak dilakukan. Peringatan dini masih dianggap sebatas rutinitas prakiraan cuaca biasa. Jika kondisi ini berlangsung terus, maka sebagus apapun kualitas peringatan dini cuaca tidak akan pernah menjadi sarana pengurangan risiko bencana.
Sinergitas antara BMKG dan BPBD harus ditingkatkan. Peringatan dini dan respon pemerintah daerah harus berjalan beriringan untuk mewujudkan pencegahan dan pengurangan risiko bencana. Setiap peringatan dini cuaca ekstrim idealnya harus sampai kepada kepala daerah. Ini penting supaya ada tindak lanjut untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat, pemeriksaan DAS dan bendungan, serta kesiapan tanggap darurat agar tidak terlambat bertindak.
Pemerintah daerah dapat bekerjasama dengan BMKG untuk melakukan penguatan sistem peringatan dini banjir berbasis stasiun cuaca otomatis (automatic weather station) yang di bangun disepanjang jalur DAS. Dengan teknologi ini, peningkatan debit dapat dipantau secara real time untuk antisipasi datangnya banjir bandang dan evakuasi.
Selain sinergitas antar lembaga, masyarakat kini sudah saatnya mengembangkan sikap sadar informasi cuaca. Informasi cuaca dan peringatan dini dapat diakses melalui multimoda diseminasi, baik internet, aplikasi android, dan media sosial. Sehingga tidak ada lagi alasan jika terjadi bencana masih bertanya: apakah sudah ada peringatan dini dari BMKG? Untuk mendukung keselamatan masyarakat, peringatan dini cuaca biasanya sudah disebarluaskan sebelumnya.
Kedua, pengelolaan DAS yang lebih baik. Jika kita cermati bencana banjir di Sulsel tampak ada permasalahan DAS. Kerusakan DAS disebabkan oleh perilaku manusia yang tidak menjaga daerah resapan air dan menggunakan DAS sebagai kawasan hunian. Rusaknya ekosistem mengakibatkan kerusakan beruntun yang berujung pada bahaya banjir.
Perlu ada evaluasi menyeluruh tentang kesesuaian penggunaan lahan. Edukasi juga perlu dilakukan terhadap masyarakat akan pentingnya pembangunan berdasarkan informasi kerentanan bencana. Jika terbukti ada pelanggaran aturan terkait penggunaan lahan, maka aturan harus ditegakkan dan siapapun yang melakukan pelanggaran harus ditindak.
Masyarakat setempat perlu memahami teritorialnya. Upaya kegiatan susur sungai penting untuk meningkatkan pemahaman warga terkait kondisi DAS untuk mengetahui apakah ada potensi bahaya banjir. Susur sungai dapat mengetahui potensi longsor yang dapat membendung aliran dan jika ada pohon rubuh, dapat segera dibersihkan agar aliran air sungai tetap lancar.
Jika terjadi pendangkalan DAS dan bendungan akibat sedimentasi perlu segera dilakukan pengerukan dan dilokalisir bersama masyarakat. Sedimentasi dapat disebabkan oleh faktor seperti geologi, topografi, dan lingkungan. Sedimentasi dapat menyebabkan aliran sungai mudah meluap saat hujan lebat. Pengendalian sedimentasi dapat dilakukan dengan upaya pencegahan, perbaikan, dan pengawasan. Penghijauan dengan menanam tanaman keras juga dapat mengurangi bahaya erosi dan menahan laju sedimentasi.
Ketiga, pemerintah daerah wajib menyusun rencana kontinjensi banjir. Perencanaan kontinjensi dapat melibatkan semua pihak yang terlibat saat kondisi darurat. Sekenario bencana yang mungkin terjadi dapat dimodelkan berdasarkan masukan para ahli. Rencana kontinjensi banjir sangat penting diwujudkan agar dapat memperkirakan dampak bencana yang mungkin terjadi, sehingga semua pihak terlibat dalam pengurangan risiko bencana.
Potensi dan peluang curah hujan dengan intensitas tinggi masih dapat terjadi selama periode musim hujan yang kini masih berlangsung. Gangguan tropis pemicu hujan ekstrim juga masih sangat mungkin terjadi kapan saja. Untuk itu, seluruh wilayah rawan banjir dan tanah longsor di tanah air patut waspada. Semoga catatan singkat ini dapat memberi manfaat kepada kita untuk merencanakan langkah mitigasi bencana.
(rilis)
Editor: Ahmad