Oleh Fadly Ibrahim
Dewan Pengawas Koperasi YKIT
Pengurus Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Provinsi Sulsel
SEJAK kecil saya kerap menemani kakek berjualan di pasar, biasanya tiga pasar kami datangi secara bergilir setiap pekan. Selain membuka lapak di pasar, usaha kelontong juga berjalan di rumah. Dari pengalaman itu, saya mengamati denyut ekonomi desa, bagaimana jaringan transaksi terbentuk, dan bagaimana uang berputar di antara warga. Pasar-pasar kecil hidup, usaha rumahan tumbuh, dan koperasi pedagang menggeliat. Geliat yang dulu saya saksikan dari dekat itu semakin nyata, ketika saya keluar-masuk pelosok desa selama 7 tahun mendampingi masyarakat dalam pemetaan sosial ekonomi.
Dalam beberapa tahun terakhir, denyut ekonomi desa kian terasa, namun potensi besar ini masih terpendam di balik struktur ekonomi yang belum sepenuhnya berpihak pada desa. Padahal, di balik kesederhanaannya, desa sesungguhnya menyimpan energi ekonomi yang dapat menjadi fondasi kemandirian nasional.
Tahun 2024, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 280 juta jiwa, dan sekitar 43 persen tinggal di wilayah perdesaan. Kawasan ini menjadi basis utama produksi nasional—mulai dari pertanian, perikanan, perkebunan, hingga pengelolaan sumber daya alam. Di luar sektor primer, geliat UMKM, perdagangan, jasa, kerajinan, dan pariwisata lokal memperkuat struktur ekonomi desa. Aktivitas produksi di desa juga menciptakan keterhubungan erat dengan kota, baik sebagai pemasok bahan baku maupun sumber tenaga kerja dan remitansi.
Nilai transaksi ekonomi masyarakat desa per kapita per bulan rata-rata mencapai Rp 1,11 juta (BPS, 2024), atau setara Rp 13,37 juta per orang per tahun. Jika dikalikan dengan jumlah penduduk desa, total nilai transaksi ekonomi perdesaan mencapai sekitar Rp 1.610 triliun per tahun, atau setara 12 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Angka ini menunjukkan bahwa desa bukan wilayah marjinal, melainkan pilar penting dalam sistem ekonomi nasional yang masih memiliki ruang luas untuk tumbuh.
Lebih dari sekadar basis produksi, desa berfungsi sebagai penyangga krisis nasional. Saat krisis moneter 1998 dan pandemi Covid-19 mengguncang perekonomian, aktivitas di desa relatif stabil, menjaga suplai pangan dan menahan kontraksi ekonomi. Bahkan, pascapandemi, ketika pemerintah membuka izin mudik Lebaran, lonjakan transaksi di wilayah perdesaan turut mempercepat pemulihan nasional. Fakta ini menunjukkan bahwa kedaulatan ekonomi tidak hanya ditentukan oleh kekuatan industri besar, tetapi oleh daya tahan desa sebagai basis kehidupan masyarakat.
Lalu, bagaimana jika pemerintah menyalurkan stimulus sebesar Rp 240 triliun untuk membangun koperasi di 80 ribu desa dan kelurahan di seluruh Indonesia? Investasi fisik akan menciptakan efek berganda pada sektor konstruksi lokal, tenaga kerja, penyedia material, dan jasa transportasi. Sementara modal usaha yang diberikan dapat mempercepat perputaran ekonomi desa melalui perdagangan bahan pokok, pupuk, dan hasil pertanian. Koperasi desa akan menjadi simpul distribusi ekonomi yang efisien sekaligus menciptakan lapangan kerja bagi lebih dari satu juta orang di bidang manajerial, kasir, operator logistik, dan pengurus unit usaha.
Jika setiap koperasi desa mampu memutar transaksi sekitar Rp 2,5 miliar per tahun, maka secara agregat 80 ribu koperasi dapat menghasilkan perputaran ekonomi sekitar Rp 200 triliun. Dampak ini bersifat berganda, karena uang yang beredar di desa umumnya tidak keluar, tetapi berputar antar-pelaku lokal. Bila setiap rupiah mampu menimbulkan setengah rupiah tambahan di sektor lain, maka potensi efek ekonomi lanjutan dapat mencapai Rp 300 triliun di tingkat nasional, dan setara 2 persen dari total PDB nasional. Efek bergandanya akan semakin meluas bila diintegrasikan dengan rantai pasok program MBG.
Namun, muncul pertanyaan penting, bagaimana memastikan koperasi desa tumbuh tanpa menyingkirkan usaha masyarakat kecil? Tantangan ini sejatinya sudah menjadi perhatian pemerintah dalam membangun ekosistem ekonomi desa yang lebih adil dan berdaya. Karena itu, langkah menempatkan koperasi sebagai pusat distribusi, bukan sebagai ritel besar, patut diapresiasi. Melalui fungsi ini, koperasi dapat berperan sebagai pemasok bagi warung, toko kelontong, dan UMKM dengan harga grosir yang stabil. Dengan demikian, warung tetap menjadi garda depan transaksi ekonomi warga, sementara koperasi menjadi simpul penguat di belakangnya.
Desain kelembagaan yang inklusif—di mana para pedagang kecil menjadi anggota sekaligus mitra koperasi—akan memastikan perputaran ekonomi desa tumbuh secara terintegrasi, bukan terfragmentasi apalagi saling meniadakan. Arah kebijakan ini semakin kuat bila disertai langkah konkret seperti pembentukan struktur dua lapis (koperasi sebagai grosir dan warung sebagai pengecer), pengaturan batas fungsi koperasi agar tidak bersaing di tingkat eceran, integrasi sistem digital untuk manajemen stok bersama, serta pendampingan UMKM agar naik kelas melalui pelatihan dan literasi keuangan. Dengan pola seperti ini, koperasi tidak hanya menjadi wadah ekonomi bersama, tetapi juga wajah baru dari semangat gotong royong yang menjadi denyut utama ekonomi desa Indonesia.
Koperasi desa harus kita maknai bukan sebatas instrumen ekonomi, melainkan sebagai simbol solidaritas sosial. Bila dikelola dengan semangat kolaborasi, maka desa tidak lagi menjadi objek pembangunan, melainkan subjek yang menggerakkan ekonomi nasional dari akar rumput. Dari desa yang mandiri dan berdaya saing, Indonesia akan menemukan kembali kekuatan sejatinya sebagai bangsa yang tumbuh dari gotong royong.






