• Jokowi dan KPK ; Antara Politik Pencitraan dan Sandera
    Oleh | Sabtu, 25 Agustus 2018 | 15:45 WITA

    Penulis : Muhammad Izzul Muslimin

    Saat Idrus Marham (IM) mengajukan pengunduran dirinya sebagai Menteri Sosial, dan kemudian beredar informasi bahwa IM telah dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus proyek pembangkit listrik, Jokowi menanggapi bahwa dirinya tidak bisa intervensi atas kasus tersebut dan menyerahkan urusannya kepada KPK. Benarkah Jokowi sama sekali tidak tahu kasus tersebut? Atau sengaja membiarkan menteri yang direkrutnya adalah seorang yang sudah dalam incaran KPK?

    Saat pertama kali menyusun Kabinet Kerja di awal pemerintahan Jokowi, kita semua dipertunjukkan sebuah episode yang cukup menjanjikan. Jokowi mengkonsultasikan semua calon menterinya kepada KPK. Jokowi tidak ingin menteri yang akan direkrutnya ternyata bermasalah dengan KPK. Alhasil, tersusunlah kabinet kerja yang semuanya bersih dari catatan KPK. Namun pertunjukan menjadi berubah ketika Jokowi akan mengajukan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri ke DPR.

    KPK saat itu mengeluarkan surat perintah penyidikan bagi Budi Gunawan. Cerita pun berkembang menjadi gaduh ketika dua orang komisioner KPK saat itu, Abraham Samad dan Bambang Wijoyanto ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian untuk kasus yang tidak ada hubungan dengan pekerjaan mereka sebagai KPK. Kasus yang seharusnya tidak akan muncul karena ketika seseorang dipilih menjadi anggota KPK mestinya sudah clear dari masalah hukum. Tapi itulah kenyataannya. Kasus kriminalisasi anggota KPK ini pun menyita banyak perhatian dan energi, hingga akhirnya diangkatlah Badroddin Haiti sebagai Kapolri. Kasus Abraham Samad dan Bambang Wijoyanto pun ditutup.

    Selanjutnya, setiap mengangkat menteri atau pejabat selevel menteri, Jokowi sudah tidak lagi berkonsultasi ke KPK. Atau setidaknya Jokowi tidak secara terbuka mengumumkan bahwa menterinya sudah discreaning oleh KPK. Memang tidak ada aturan yang dilanggar, tapi ini soal pencitraan. Jokowi tidak lagi membutuhkan pencitraan itu.

    Jadi, ketika Khofifah Indar Parawansa pamit meninggalkan posnya sebagai Menteri Sosial untuk berjuang merebut kursi Gubernur Jawa Timur, Jokowi memilih penggantinya dari Golkar, yang saat itu baru saja menyatakan dukungannya untuk Jokowi di 2019, dukungan yang paling awal dari partai politik, bahkan mendahului partai politik pengusung Jokowi di 2014. Apakah dipilihnya IM menjadi Mensos adalah sebagai imbalan atas jasa IM sebagai Sekjend Golkar waktu itu dan Setia Novanto (Setnov) sebagai Ketua Umum Golkar mengarahkan kapal besar Golkar berlabuh di kubu Jokowi?

    Wallahu a’lam.

    Tapi yang jelas cerita kemudian berubah, ketika Setnov terseret kasus KTP Elektronik. Setnov sekarang telah menjadi pesakitan di Sukamiskin. Dan sebentar lagi IM juga akan menghadapi dakwaan KPK untuk kasus hukum yang berbeda.

    Pertanyaannya, apakah saat Jokowi menerima Golkar di bawah kepemimpinan Setnov dan IM tidak mengetahui bahwa keduanya berpotensi bermasalah dengan KPK? Ataukah justru itu menjadi modus Jokowi untuk menyandera keduanya? Yang jelas, jika Jokowi menggunakan pendekatan seperti di awal berkuasa dengan berkonsultasi ke KPK, kemungkinan KPK sudah memberi warning kepada Jokowi. Bisa jadi itu sudah dilaksanakan oleh Jokowi, tapi bukan untuk kepentingan publik, tapi lebih sebagai game politik. Jokowi tidak lagi membutuhkan pencitraan, tapi lebih membutuhkan dukungan politik, atau bisa jadi sandera politik? Wallahu a’lam.

    Penulis adalan mantan ketua umum PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan direktur Rumah Sakit Islam Jakarta.