
Keterwakilan Perempuan Adalah Upaya Memerempuankan Perempuan
Oleh :
Andi Tenri Pada
(Pengurus Masika ICMI Sulsel)
8 Maret 2019
“Refleksi Dalam Rangka Hari Perempuan Internasional di Tahun Politik”
MAKASSAR, LINKSULSEL.COM- Keterwakilan perempuan di panggung politik masih belum maksimal dan masih menyisakan persolan yang serius.
Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat jumlah Caleg perempuan untuk tahun 2018 sebanyak 3330 orang dari 8775. Pada Pemilu 2014 lalu, dari total 560 kursi DPR, hanya menghasilkan 97 anggota DPR perempuan.
Pemilu 2009, perempuan di parlemen hanya mencapai 103 orang.
Perempuan yang tampil di panggung politik dihadapkan pada persoalan masih mengakarnya budaya patriarki di sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan.
Budaya patriarki cenderung menempatkan perempuan di bawah kekuasaan laki-laki. Perempuan dicitrakan sekaligus diposisikan sebagai pihak yang tidak memiliki otonomi dan kemandirian di semua bidang, termasukpolitik.
Keterwakilan perempuan di parlemen menjadi sangat penting karena dalam proses pengambilan keputusan di legislatif mencakup semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, selain itu juga berimplikasi terhadap lahirnya kebijakan yang sensitive gender.
Perempuan di Parlemen tidak sekedar untuk memenuhi kuota 30 persen juga bukan untuk menandingi laki-laki secara kuantitas. Yang paling utama pada keterwakilan perempuan diparlemen adalah memperjuangkan serta mengakomodasi hak-hak dan kepentingan perempuan dalam kata lain hanya parlemen perempuan yang mampu memerempuankan perempuan.
Tantangan lainnya juga ada di Partai Politik, Persentase 30 persen pengurus partai seharusnya bukan hanya pelengkap, namun secara serius diwujudkan dalam berbagai kepengurusan parpol, baik di tingkat pusat maupun daerah, serta dibekali dengan pendidikan politik bagi kader perempuan serta pembangunan kapasitas mereka.
Partai bisa memanfaatkan organisasi sayap yang bergerak di bidang perempuan sebagai sumber kader perempuan parpol. Selain itu Parpol juga seharusnya memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menduduki jabatan strategis baik dalam struktur partai maupun jabatan-jabatan strategis di legislative.
Tidak bisa dipungkiri langkah perempuan menuju parlemen masih juga menemui krikil-krikil dalam perjalanannya. Selain perspektif masyarakat yang sebagaian besar masih menganggap bila perempuan berada di ruang public dianggap melanggar kodrat dan tugas perempuan hanya ada diruang domestic (kasur, sumur dan dapur), perempuan juga dianggap tidak mampu mengimbangi kemampuan laki-laki dalam berpolitik, baik itu melakukan loby, dan mempengaruhi calon konstituen.
Perempuan selama ini dianggap objek yang gampang dipengaruhi dan dimobilisasi, dengan kata lain suara perempuan dianggap murah, suara perempuan dihargai dengan selembar jilbab, sepaket sembako, ataupun selembar sarung. Padahal secara kuantitas jumlah suara perempuan lebih tinggi dari suara laki-laki.
Berbagai tantangan yang dihadapi kaum perempuan di panggung politik haruslah menjadi perhatian serius. Tak hanya bagi kalangan perempuan sendiri, tetapi setiap partai politik harus memiliki komitmen tinggi dalam memberikan pendidikan dan ruang politik bagi kaum perempuan.
Saat ini animo perempuan sudah tinggi dalam mengikuti kontestasi legislatif, karena itu kaum perempuan haruslah menjadikan kesempatan ini sebagai momentum menghadirkan optimisme bagi keterwakilan yang cukup di parlemen. Semangat dan optimisme ini harus dirawat bersama demi mendorong kebijakan-kebijakan yang sensitive terhadap kepentingan perempuan.
Tanggal 14 Maret bisa menjadi momentum untuk melanjutkan perjuangan perempuan, perjuangan untuk mengawal kebijakan yang berpihak kepada perempuan salah satunya UU Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan PKS), kebijakan yang memikirkan kepentingn terbaik anak salah satunya menurunkan angka perkawinan anak, serta kebijakan yang berpihak kepada Penyandang Disabilitas contohnya membuka akses layanan seluas-luasnya terhadap Penyandang Disabiltas.
Sehingga kunci dari diskursus tersebut adalah Affirmatif Action harus terus didorong sebagai upaya untuk mempertahankan keterlibatan perempuan minimal 30 persen di parlemen agar tetap menjadi bagian dari pengambilan keputusan.
Editor: Henny