• Opini: “Horor” Kardus Kotak Suara
    Oleh | Minggu, 16 Desember 2018 | 15:29 WITA

    “Horor” Kardus Kotak Suara

    KPU memutuskan untuk mengganti kotak suara Pemilu 2019 dengan memakai bahan kertas kardus. Selama ini KPU menggunakan kotak suara dari plat aluminium untuk menampung kertas suara di TPS.
    Keputusan itu memantik polemik. Sungguh lumrah jika dipersoalkan. Sebab, siapapun pasti akan khawatir dengan kebijakan itu terutama jika dikaitkan dengan keamanan kotak suara yang akan menjadi sentral dalam pemungutan dan penghitungan suara di TPS. Faktor efisiensi dan transparansi menjadi dua alasan utama KPU menempuh kebijakan itu.

    Namun, menurut saya kedua faktor itu sama sekali tak bisa mendapat pembenaran. Faktor efisiensi misalnya, tak bisa dijadikan sebagai pembenar. Faktanya, KPU tetap harus mengeluarkan biaya miliaran untuk membuat kotak-kotak kardus itu. Sebab, meski bahan kardus tetapi tetap banyak komponen mahal di dalamnya seperti kertas kardus khusus, plastik transparan dan gembok.

    Belum lagi KPU mesti menambahkan alat khusus untuk melindungi kotak dari terjangan air. Menurut saya lebih efisien jika KPU tetap menggunakan kotak lama berupa plat aluminium. Pasalnya, di gudang-gudang KPU seluruh Indonesia kotak-kotak lama itu masih tersimpan.

    KPU bisa menggunakannya kembali dengan hanya melakukan perbaikan terbatas pada kotak-kotak yang rusak. Apalagi, pada beberapa daerah seperti Sulsel, stok kotak masih utuh dengan kondisi bagus pasca digunakan di Pilgub 2018 lalu.

    Faktor transparansi juga tak bisa menjadi pembenar. Kotak baru desainnya sengaja dibuat transparan dengan menambahkan plastik trannsparan di sisi sisi kotak, sehingga isi dalam kotak terlihat.

    Menurut saya KPU telah salah kaprah dalam menyiapkan strategi pencegahan manipulasi suara dengan model kotak suara seperti ini. Selama ini, titik lemah pemungutan dan penghitungan suara yang menyebabkan banyaknya dugaan manipulasi suara bukan pada tertutupnya kotak suara, tetapi dalam banyak proses pemberian suara dan penghitungan suara.

    Persoalan bukan ketika kertas suara masuk ke dalam kotak suara, sehingga harus diawasi dan kertas suara bisa terlihat, tetapi pada banyak proses, mulai dari mutasi formulir penghitungan mulai dari penggunaan surat suara terpakai, penyebutan perolehan suara parpol dan caleg, hingga pada mutasi formulir dari C1 plano ke C1 kecil.

    Ironisnya, tak akan ada yang bisa memastikan tingkat keamanan dan ketahanan kotak itu meski KPU sudah menjaminnya. Pada daerah-daerah kepulauan seperti di Indonesia Timur, keruwetan akan terjadi pada proses pengiriman dan pengembalian kotak suara.

    Saat masih di KPU Makassar pada Pilwali 2013, kami di KPU Makassar menghadapi masalah dalam pengiriman kertas suara dan kotaknya ke pulau-pulau di luar kota, karena saat itu awal musim hujan. Meski saat itu kotaknya masih besi aluminium, kami tetap membungkusnya dengan plastik khusus. Selain harus anti air, desain pembungkus kotaknya juga harus anti tenggelam.

    Saya tak bisa membayangkan jika kotak-kotak itu berupa kardus. Tentu KPU harus punya strategi sendiri dalam menyelamatkan kotak-kotak penting itu.

    Apapun itu saya yakin KPU sudah punya strategi dan perencanaan sendiri dalam mengantisipasi semuanya. Namun, tentu adalah wajar jika publik juga menyampaikan kekhawatirannya demi penyelamatan atas demokrasi yang diperoleh lewat penyelenggaraan Pemilu yang bersih. Semoga kebijakan itu tak menjadi “horor” baru di Pemilu 2019.

    Nurmal Idrus
    *Direktur Nurani Strategic*