• Ketika Kekuasaan Miskin Narasi
    Oleh | Selasa, 28 Agustus 2018 | 07:20 WITA

    Oleh : Ahmad Sastra

    Dahulu, di zaman batu atau purbakala, pemikiran manusia belum berkembang secara rasional. Masyarakat purbakala berada dalam kubangan iegemoni irasionalisme. Pola fikir masayrakat zaman batu dikonstruk oleh Dominasi mitos. Pola fikirnya mitos, perilakunya sekeras batu.

    Dominasi mistik mengantarkan manusia purba tak mengenal tuhan yang sebenarnya. Tuhan-tuhannya adalah hasil dari khayalan mereka sendiri. Mereka membuat tuhan dan menyembahnya sendiri. Kadang tuhan itu terbuat dari batu, dari tepung dan bahkan dari api. Kadang tuhan mereka adalah matahari kadang dewa-dewa yang tak pernah ada.

    Manusia zaman batu tidak memiliki narasi yang baik terhadap hidup dan kehidupan. Pola penyelesaian masalah dilakukan dengan otoriterisme dan cenderung minus argumen rasional. Bahkan kadang menggunakan otot untuk menyelesaikan masalah persengketaan, duel dampai mati. Manusia purbakala kepalanya kosong dari pemikiran, otaknya tidak berfungsi dengan baik, hanya otot yang diandalkan.

    Namun zaman terus berubah seiring perjalanan waktu. Ketika filsafat mulai mendominasi masyarakat Yunani, maka pola fikir mulai bergerak ke arah rasionalisme. Berbagai mitos yang selama ini mendominasi narasi masyarakat, saat itu perlahan tereduksi. Mitos kini berganti dengan rasio. Narasi yang tak masuk akal dianggap kedunguan dan mulai ditinggalkan.

    Manusia seperti Aritoteles, Thales, Socrates, dan Plato adalah sederet manusia yang mencoba menggugat hegemoni mitos. Meskipun rasionalisme sendiri juga didapati kekurangan disana sini, namun setidaknya, masyarakat Yunani saat itu terlepas dari kesesatan berfikir mistik. Meski untuk itu, banyak para filofos dan cendekiawan dianggap bidat oleh hegemoni kekuasaan anti rasionalisme pada zamannya.

    Para cendekiawan dan filosof yang melakukan gugatan intelektual dianggap maker oleh kekuasaan otoriter. Narasi irasional kekuasaan dianggap salah oleh para cendekiawan, namun kekuasaan justru digunakan untuk memberangus berkembangannya intelektualitas. Inilah awal dimana terjadi proses sekulerisasi. Sejarah itu dikenal sebagai abad kegelapan.

    Abad itu memang gelap gulita dari intelektualitas. Antar manusia bisa saling membunuh secara biadab. Siapa yang kuat, maka merekalah yang menang. Siapa yang berkuasa, mereka mendaulat dirinya sebagai pemegang otoritas kebenaran. Meski penguasa saat itu adalah potret kedunguan, namun kekuasaanlah yang berperan.

    Begitulah jika kekuasaan minus narasi, maka argumentasipun mati. Kecerdasan rakyat dianggap sebagai ancaman. Maka persekusi adalah satu-satunya jalan untuk menghentikan kecerdasan rakyat. Main otot adalah satu-satunya jurus, sebab otak tak lagi berfungsi. Mereka kira dengan begitu rakyat akan takut dan bertekuk lutut, padahal kecerdasan tidak mungkin tunduk pada kedunguan. Kecuali mereka yang telah diperbudak dengan duniawi.

    Hari ini tentu bukan zaman purbakala atau zaman batu. Hari ini adalah zaman sains dan teknologi yang sarat dengan kemajuan dan intelektualitas. Bahkan zaman ini adalah zaman dimana pemikiran Islam begitu menguat tajam. Inilah potret kebangkitan bangsa ini, harus disyukuri dan diapresiasi demi kemajuan peradaban bangsa ini. Hindari perialu persekusi dan intimidasi, apalagi main otot yang sudah basi.

    Tapi jika masih ada kekuasaan di negeri ini yang miskin narasi, bisa jadi negeri ini sedang kembali mundur ke zaman purbakala dan zaman batu. Otot yang makin membatu demi kekuasaan adalah preseden terburuk bagi masa depan bangsa ini. Padahal semuanya sedang dinanti oleh sang kematian. Di akherat surga dan neraka tak sabar menanti para penghuninya. Maka cerdaslah dan tobatlah.

    Editor : Heny